Kenapa Final UCL Tidak Pakai Leg 2?
Kenapa Final UCL Tidak Pakai Leg 2?
Final Liga Champions UEFA (UCL) sudah digelar dengan format 1 leg sejak awal kompetisi ini bergulir pada musim 1955/1956 silam.
Sebagai pengecualian, final Liga Champions 1973/1974 digelar dua kali. Namun, dua final itu terjadi karena laga pertama berakhir seri hingga babak tambahan usai, sementara tak ada skema adu penalti untuk penentuan hasil pertandingan.
Di final Liga Champions 1973/1974 yang pertama, Bayern Munchen dan Atletico Madrid bermain imbang 1-1. Lalu, di pada laga kedua, Bayern unggul 4-0.
Namun, pada awalnya, lokasi final Liga Champions bukan stadion di tempat netral. Salah satunya bahkan berlangsung di kandang salah satu tim.
Kompetisi Liga Champions UEFA (sebelum musim 1992–1993 bernama Piala Champions Eropa) edisi pertama digelar pada musim 1955/1956 dengan peserta 16 tim.
Liga Champions 1955/1956 berlangsung dengan sistem knock out 2 leg mulai dari babak 16 besar, 8 besar, hingga semifinal. Adapun babak final hanya digelar dengan 1 leg.
Final Liga Champions pertama itu mempertemukan Real Madrid vs Stade de Reims yang berakhir dengan skor 4-3. Laga final ini berlangsung di Parc des Princes, Prancis, lokasi yang notabene menjadi 'kandang' Stade de Reims.
Pada edisi ke-2 atau musim 1956/1957, final Liga Champions juga kembali digelar dengan lokasi di negara, bahkan kandang, salah satu tim. Saat itu, partai final antara Real Madrid vs Fiorentina berlangsung di Stadion Santiago Bernaebu, Madrid, Spanyol.
Baru di edisi ketiga (musim 1957/1958), pertandingan final Liga Champions berlangsung di tempat netral. Saat itu, Real Madrid bertemu AC Milan di final, dengan Stadion Heysel, Brussel, Belgia, menjadi lokasi pertandingan.
Tradisi menjadi salah satu faktor utama yang kemungkinan menyebabkan pertandingan final Liga Champions menggunakan format 1 leg.
Selain itu, secara prestise, final 1 leg juga dianggap lebih sarat gengsi. Dua tim finalis pun akan memiliki peluang yang relatif sama besar untuk memenangkan pertandingan.
Faktor kesiapan infrastruktur, sosial, dan ekonomi pun bisa menjadi alasan mengapa UEFA lebih memilih menggelar final 1 leg di tempat netral. Final dengan skema 1 leg tentu bisa membuat penyelenggaraan partai puncak lebih efisien.
Hal itu pula yang turut mendasari langkah CONMEBOL mendorong penerapan skema satu leg di final Copa Libertadores sejak 2019.
Format final Copa Libertadores 1 leg di lokasi netral kala itu diharapkan memacu progres pengadaan infrastruktur, serta mematangkan pengorganisasian dan keamanan laga.
“Final dengan satu pertandingan menjadi peluang besar bagi Amerika Selatan, lompatan besar ke depan untuk infrastruktur olahraga, organisasi acara, kontrol keamanan, hingga kenyamanan di stadion, dan promosi level regional dan dunia," kata presiden CONMEBOL Alejandro Dominguez saat itu seperti dilansir Eurosport.
Nyatanya final 1 leg juga tidak gampang digelar di Amerika Selatan. Final perdana dengan 1 leg di Copa Libertadores 2019 sempat digeser lokasinya, dari semula di Chile beralih ke Peru. Sebabnya, terjadi kerusuhan di Chile menjelang final Copa Libertadores 2019.
Sekalipun demikian, format 1 leg untuk final Copa Libertadores dengan lokasi netral tetap dipakai hingga sekarang.
Sementara itu, di Liga Champions AFC (LCA), format pertandingan final sempat beberapa kali berganti dari 2 leg menjadi 1 leg atau sebaliknya, sejak ajang ini digelar pada 1967.
Ketika final LCA memakai format 1 leg pun muncul pergantian skema pilihan lokasi laga. Misalnya, laga final LCA 2012 bertempat di markas salah satu finalis yang ditentukan via undian. Skema ini berbeda dari skema edisi 2009 dan 2010 yang menempatkan final di lokasi netral.
Gonta-ganti format final LCA itu hanya berlangsung sampai 2012. Sejak edisi 2013, laga final LCA diputuskan memakai format 2 leg (kandang-tandang). Format ini masih berlaku sampai sekarang, termasuk pada musim 2023/2024 mendatang.
Salah satu faktor yang melatarbelakangi keputusan AFC adalah potensi pendapatan dari penjualan tiket final LCA. Dengan format 2 leg, hasil penjualan tiket final tentu akan lebih besar. Secara euforia, final 2 leg juga memungkinkan laga akan dihadiri pendukung lebih banyak.
Di benua Eropa, faktor di atas kemungkinan tidak terlalu menjadi pertimbangan. Dari satu laga final UCL saja, pemasukan dari penjualan tiket sudah tinggi bagi penyelenggara. Hal ini belum pendapatan dari sumber lain, seperti sponsor.
Sebagai ilustrasi, pada musim 2020/2021, juara UCL mendapatkan hadiah 23 juta dolar AS (Rp341 miliar), sementara 12 juta dolar AS untuk runner up (Rp178 miliar). Ini belum termasuk pendapatan lain di luar kompetisi yang diperoleh masing-masing klub.
Angka itu jauh di atas hadiah untuk juara LCA 2021 yang sekitar, 4 juta dolar AS (Rp 59 miliar) udan 2 juta AS (Rp29 miliar) bagi runner up.
Perbedaan mencolok itu tentu berkaitan dengan tidak samanya level pamor UCL dan LCA. UCL jelas memiliki pamor jauh lebih tinggi, bahkan paling bergengsi dibandingkan ajang serupa di benua-benua lainnya.
Melde dich an, um fortzufahren.
Ronaldo menyampaikan rencana karier internasionalnya usai bermain di Piala Dunia 2022.
"Ya, pensiun. 100 persen," ucap Ronaldo.
Ronaldo telah memainkan empat edisi Piala Dunia bersama Portugal. Qatar akan menjadi Piala Dunia kelimanya. Namun, untuk karier pada level klub, Ronaldo mengaku masih ingin bermain dua atau tiga tahun lagi.
"Ini mungkin Piala Dunia terakhir saya, tentu saja, Piala Dunia kelima saya. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi setelah Piala Duna."
CRISTIANO Ronaldo dan Timnas Portugal disebut juara Piala Dunia 2010 di Korea Utara. Faktanya tentu tidak begitu, karena yang menjadi juara di Piala Dunia 2010 adalah Timnas Spanyol.
Penikmat sepakbola yang telah mengenal sepakbola di tahun 2010 pasti mengetahui hal ini. Timnas Spanyol asuhan Vincente del Bosque sukses menjadi juara dunia berkat gol tunggal Andres Iniesta ke gawang Belanda pada laga puncak.
Namun demikian, di Korea Utara, yang menjadi juara dunia pada saat itu adalah Timnas Portugal. Hal ini dungkap oleh seorang pramugara TAP Portugal bernama Alvaro Leite yang mengunjungi ibu kota Korea Utara, Pyongyang, pada April 2017 silam.
“Pada saat kami mengunjungi Pyongyang, kami memiliki seorang guide perusahaan yang bisa berbahasa Inggris,” kata Leite kepada Marca.
“Dia mengatakan kepada kami bahwa Cristiano Ronaldo adalah seorang idola yang sejati bagi banyak orang dan sepakbola sangatlah penting dan populer di negaranya,” sambung Leite.
Timnas Korea Utara kalah 0-7 kontra Portugal di fase grup Piala Dunia 2010. Namun, siaran pertandingan itu dipotong ketika Portugal sudah unggul 4-0 karena Pemerintah Korea Utara tidak ingin melihat tim nasional dipermalukan di hadapan rakyatnya.
“Itu disebabkan oleh ide dari pemerintah agar Portugal menjadi juara. Mereka memutus siaran ketika Portugal unggul 4-0 atas Korea Utara,” lanjut Leite.
“Pada menit ke-60, ketika Tiago mencetak gol, jadi tidak seorang pun di negara itu yang melihat tiga gol lainnya dalam kemeangan 7-0 yang diraih oleh Portugal,” tambahnya.
Follow Berita Okezone di Google News
Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya
Kekalahan tersebut dianggap sebagai penghinaan oleh Pemerintah Korea Utara. Mereka pun menyebar propaganda dengan mendongkrak kekuatan Timnas Portugal, membuat banyak orang di Korea Utara percaya bahwa Cristiano Ronaldo dan kolega menjadi juara pada Piala Dunia 2010.
Dengan begitu, masyarakat Korea Utara tidak perlu terlalu malu. Sebab, yang mengalahkan mereka dengan skor 0-4, seperti yang mereka ketahui, adalah tim yang menjadi juara dunia.
Pada kenyataannya, Timnas Portugal sendiri gugur di babak 16 besar pada Piala Dunia 2010. Gol tunggal David Villa membuat Timnas Spanyol menang tipis dengan skor 1-0 pada saat itu.
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berdasarkan data situs olahraga Transfermarkt, Cristiano Ronaldo merupakan pemain sepak bola terpopuler di Instagram. Pemain dengan julukan CR7 itu tercatat memiliki 601 juta pengikut (followers) di Instagram per 14 Agustus 2023.
Cristiano Ronaldo merupakan salah satu bintang sepak bola dunia dengan segudang prestasi. Ia kini bermain untuk klub Arab Saudi, Al Nassr.
Popularitas Ronaldo pun diakui oleh Guinness World Records (GWR), lantaran ia sempat memiliki followers terbanyak sedunia pada penghujung 2022. Namun, kini, jumlah followers Ronaldo menempati urutan kedua, di bawah akun resmi milik Instagram yang punya 651 juta followers.
"(Ronaldo mempunyai) pengikut terbanyak di Instagram dan pengikut terbanyak di Instagram untuk seorang atlet,” kata GWR di situsnya tahun lalu, (18/11/2022). GWR juga mengatakan, Ronaldo merupakan orang pertama yang punya 500 juta followers di Instagram.
Selanjutnya, Lionel Messi menempati urutan kedua pemain sepak bola terpopuler di Instagram. Pemain berjulukan La Pulga ini tercatat memiliki 483 juta followers di akun media sosial tersebut.
Pemain sepak bola asal Brasil, Neymar, menempati urutan ketiga dengan 212 juta followers di akun Instagram miliknya. Lalu, ada pula Kylian Mbappe dan Karim Benzema yang masuk ke dalam daftar pemain sepak bola terpopuler di Instagram.
Berikut daftar lengkap 10 pemain sepak bola dengan jumlah followers terbanyak di Instagram per 14 Agustus 2023:
(Baca: Kalahkan Ronaldo, Messi Jadi Pesepak Bola dengan Rekor Guinness Terbanyak)
TRIBUNNEWS.COM - Persaingan sengit dipastikan masih akan mewarnai perhelatan kompetisi Liga Inggris musim 2021/2022 sampai matchday 38 alias pekan terakhir.
Entah itu persaingan memperebutkan gelar juara, tiket Liga Champions atau perjuangan menghindari ancaman degradasi.
Semua hal itu akan ditentukan pada hasil pekan 38 yang akan digelar secara serempak pada tanggal 22 Mei 2022 mendatang.
Di jalur perebutan juara, kemenangan berharga didapatkan Liverpool setelah menyudahi perlawanan Southampton, Rabu (18/5/2022) dini hari WIB.
Kemenangan 1-2 melawan Southampton membuat peluang Liverpool untuk meraih gelar juara Liga Inggris musim ini sepenuhnya masih terjaga.
Kini, Liverpool hanya terpaut satu poin saja dari Manchester City yang menduduki posisi puncak klasemen sementara Liga Inggris.
Artinya Liverpool masih berpotensi menyalip Manchester City pada laga terakhir pekan 38.
Liverpool setidaknya perlu berharap Manchester City terpeleset pada laga pamungkas agar bisa menuntaskan harapannya menjadi juara pada akhir musim ini.
Jika Manchester City gagal menang, lalu Liverpool mampu mengalahkan Wolves, maka The Reds bisa menjadi pemuncak klasemen pada akhir musim ini.
Hal itu tentu akan menjadi drama kejutan yang indah bagi Liverpool yang sejauh ini sudah mengamankan dua gelar juara.
Seandainya Liverpool mampu memenangkan gelar juara musim ini, maka peluang mereka untuk meraih quadruple semakin mendekati kenyataan.
Persaingan sengit tak hanya terjadi pada perebutan gelar juara Liga Inggris, zona Liga Champions pun tak kalah memanas.
Slot zona Liga Champions yang masih menyisakan satu tempat lagi akan diperebutkan Spurs dan Arsenal pada pekan terakhir musim ini.
Spurs yang awalnya terancam gagal meraih tiket Liga Champions justru berbalik mendapatkan momentum usai meraih dua kemenangan pada pekan krusial akhir musim ini.
TRIBUNNEWS.COM - Persaingan sengit dipastikan masih akan mewarnai perhelatan kompetisi Liga Inggris musim 2021/2022 sampai matchday 38 alias pekan terakhir.
Entah itu persaingan memperebutkan gelar juara, tiket Liga Champions atau perjuangan menghindari ancaman degradasi.
Semua hal itu akan ditentukan pada hasil pekan 38 yang akan digelar secara serempak pada tanggal 22 Mei 2022 mendatang.
Di jalur perebutan juara, kemenangan berharga didapatkan Liverpool setelah menyudahi perlawanan Southampton, Rabu (18/5/2022) dini hari WIB.
Kemenangan 1-2 melawan Southampton membuat peluang Liverpool untuk meraih gelar juara Liga Inggris musim ini sepenuhnya masih terjaga.
Kini, Liverpool hanya terpaut satu poin saja dari Manchester City yang menduduki posisi puncak klasemen sementara Liga Inggris.
Artinya Liverpool masih berpotensi menyalip Manchester City pada laga terakhir pekan 38.
Liverpool setidaknya perlu berharap Manchester City terpeleset pada laga pamungkas agar bisa menuntaskan harapannya menjadi juara pada akhir musim ini.
Jika Manchester City gagal menang, lalu Liverpool mampu mengalahkan Wolves, maka The Reds bisa menjadi pemuncak klasemen pada akhir musim ini.
Hal itu tentu akan menjadi drama kejutan yang indah bagi Liverpool yang sejauh ini sudah mengamankan dua gelar juara.
Seandainya Liverpool mampu memenangkan gelar juara musim ini, maka peluang mereka untuk meraih quadruple semakin mendekati kenyataan.
Persaingan sengit tak hanya terjadi pada perebutan gelar juara Liga Inggris, zona Liga Champions pun tak kalah memanas.
Slot zona Liga Champions yang masih menyisakan satu tempat lagi akan diperebutkan Spurs dan Arsenal pada pekan terakhir musim ini.
Spurs yang awalnya terancam gagal meraih tiket Liga Champions justru berbalik mendapatkan momentum usai meraih dua kemenangan pada pekan krusial akhir musim ini.
Tim asuhan Antonio Conte kini tinggal selangkah lagi untuk bisa mengamankan satu tiket Liga Champions pada musim depan.
Sementara, Arsenal yang secara tak terduga kalah dalam dua laga beruntun pada fase krusial terancam gagal menuntaskan misinya pada akhir musim ini.
Arsenal kini malah terpaut dua angka dari Spurs yang saat ini menghuni posisi keempat alias batas aman meraih tiket Liga Champions musim depan.
Dengan menyisakan satu laga sisa, Arsenal setidaknya perlu mengalahkan Everton pada laga terakhir sembari berharap Spurs terpeleset dalam laga melawan Norwich City.
Situasi itu tampaknya tak mudah terjadi apalagi berharap kalah melawan Norwich City selaku penghuni dasar klasemen.
Alhasil butuh keajaiban sekaligus keberuntungan bagi Arsenal untuk bisa menyelesaikan musim ini di posisi keempat.
Persaingan tak kalah menarik juga mewarnai zona degradasi musim ini yang tinggal menyisakan satu slot lagi.
Masih ada beberapa tim yang berpeluang mengikuti jejak Norwich City dan Watford turun kasta ke divisi Championship.
Burnley, Leeds United, dan Everton menjadi tiga tim yang akan berjuang melepaskan diri dari jeratan degradasi.
Burnley dan Everton memiliki keuntungan lebih untuk lepas dari zona merah lantaran masih menyisakan dua laga sisa pada musim ini.
Hanya saja lawan tak mudah akan dihadapi keduanya untuk meraih kemenangan pada laga pamungkasnya.
Sebagaimana misal Burnley yang saat ini menduduki posisi ke-18, dimana mereka akan berhadapan dengan Aston Villa dan Newcastle United pada laga sisa.
Jika kalah dalam dua laga beruntun, Burnley dipastikan akan turun kasta ke divisi Championship musim depan.
Sementara, Everton akan berhadapan dengan Arsenal yang juga tengah berjuang memperebutkan tiket Liga Champions musim depan pada laga terakhirnya.
Everton sebenarnya bisa saja lepas dari jeratan zona degradasi dengan catatan mampu mengalahkan Crystal Palace pada laga tunda, Jumat mendatang.
Leeds United yang saat ini menduduki posisi ke-17 pun harap-harap cemas menanti nasibnya musim ini.
Selain harus bermain mata dengan tim lain, Leeds United sebisanya mampu memetik tiga poin melawan Brentford pada laga terakhirnya musim ini.
Berkaca dari situasi diatas, berbagai potensi drama kejutan dipastikan akan mewarnai laga Liga Inggris pekan 38 mendatang.
(Tribunnews.com/Dwi Setiawan)
tirto.id - Final Liga Champions UEFA (UCL) selama ini digelar di lokasi netral dengan format single leg dan hanya menjadi perebutan juara 1. Kenapa final UCL tidak pakai leg 2? Selain itu, kenapa tak ada perebutan juara 3?
Laga final Liga Champion menjadi satu-satunya pertandingan UCL yang tak digelar dalam 2 pertemuan (2 leg). Format final UCL dengan single leg ini berbeda dari skema yang ada di kompetisi antar-klub level tertinggi di beberapa benua lainnya.
Partai final kompetisi antar-klub level wahid di Afrika (CAF Champions League), Asia (Liga Champions AFC), serta Liga Champions CONCACAF (Amerika Utara, Amerika Tengah, dan Karibia) hingga kini masih menggunakan format 2 leg (kandang-tandang).
Sementara itu, di Amerika Latin (Copa Libertadores), format final dengan dua leg sempat diberlakukan sejak 1960 sampai 2018. Di edisi-edisi Copa Libertadores berikutnya, skema final tak lagi sama karena berubah menjadi 1 leg di tempat netral, tepatnya mulai 2019.
Sejauh ini, belum ada penjelasan gamblang dari UEFA mengenai alasan utama final Liga Champions (UCL) hanya digelar dengan 1 leg di tempat netral. Demikian pula terkait tak adanya perebutan juara ke-3.
Hanya saja, terkait skema perebutan juara ketiga, sepertinya memang tak populer baik di kompetisi antar-klub level Eropa maupun benua yang lain.
Ketidakpopuleran itu terutama sekali di Eropa. Bahkan, sulit menemukan kompetisi atau turnamen elite di Eropa yang memakai skema perebutan juara 3, baik itu di level benua maupun negara.
Piala FA memang tercatat pernah menerapkan skema perebutan juara ketiga selama 5 musim, tetapi itu terjadi sudah lama sekali yakni pada periode 1970-1974. Dari laporan The Guardian, diketahui skema itu tak diterapkan lagi karena dinilai gagal menarik animo pendukung. UEFA pun pernah menerapkan skema perebutan juara ketiga, tapi sejak 1980 menghapusnya dari agenda turnamen dengan alasan yang mirip.